Senin, 24 Januari 2011

Pembuktian Terbalik

Selasa, 25 Januari 2011 00:00 WIB

KASUS Gayus Tambunan ternyata merupakan ujian berat bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ujian berat karena sepak terjang Gayus telah membikin malu pemerintah. Untuk menuntaskan kasus yang memalukan itu, Presiden Yudhoyono telah mengeluarkan 12 butir instruksi.

Salah satu instruksi itu adalah penggunaan metode pembuktian terbalik. Intinya Gayus harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya.

Keengganan melaksanakan instruksi tersebut bisa ditafsirkan sebagai pembangkangan karena membiarkan instruksi menjadi macan kertas.

Kapolri Jenderal Timur Pradopo angkat tangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, kemarin, Kapolri mengakui belum dapat menerapkan pembuktian terbalik dalam penyidikan kasus kepemilikan harta Gayus.

Menurut Kapolri, belum ada peraturan perundang-undangan yang memberi hak kepada penyidik untuk menggunakan metode pembuktian terbalik.

Benarkah demikian? Sesungguhnya ketentuan perundang-undangan mengenai pembuktian terbalik sudah ada. Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan alat bukti itu hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Akan tetapi, Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menambahkan alat bukti bisa berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Senyatanya, di pengadilan, atas pertanyaan hakim Albertina Ho, Gayus mengakui menerima uang dari tiga perusahaan Grup Bakrie. Namun, polisi tidak berbuat apa pun terhadap pernyataan Gayus di pengadilan itu.

Masih ada landasan hukum lainnya. Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan perihal kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan terdakwa digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Di sinilah laporan keuangan yang dimiliki PPATK menjadi sangat relevan, kuat, dan sangat penting.

Adalah benar bahwa konstruksi hukum terakhir itu masuk ranah yudikatif. Namun, pintu masuk pembuktian terbalik tetap juga ada pada penyidik kepolisian. Persoalannya, apakah polisi mempunyai kemauan politik untuk melaksanakan instruksi presiden dan, tentu, apakah polisi juga memiliki kemauan hukum untuk membongkar habis kasus Gayus?

Terus terang, sangat kuat kesan kepolisian sengaja menyiasati undang-undang hanya untuk melindungi anggota mereka yang menyandang bintang di pundak. Juga sangat nyata Gayus hanya dijerat dengan dakwaan suap dan dilepaskan dari jerat pidana korupsi. Sekarang, Kapolri menyatakan menyerah tidak dapat melaksanakan instruksi presiden untuk menerapkan pembuktian terbalik.
Sempurnalah sudah betapa bertaringnya Gayus dan betapa tiada berdayanya negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar