Senin, 24 Januari 2011

Berita Heboh Ribuan Janin Ditemukan


Berita Heboh>>Berita heboh ribuan janin ditemukan di kuil bangkok,berikut berita heboh terbaru selengkapnya :
Sekitar 1.500 lebih janin manusia telah ditemukan kembali di sebuah kuil Buddha di Bangkok setelah penemuan sebelumnya sekitar 340 janin, seperti dilansir media Thailand

Menurut pihak kepolisian, ribuan janin ini ditemukan pada hari Kamis dan Jumat di kuil Buddha, Wat Phai Ngern Chotanaram, di Bangkok. Polisi sudah melakukan pencarian di tempat lain dari kamar mayat kuil setelah seorang pekerja di kuil yang bernama Suchart Phumee dilaporkan mengaku telah menyimpan lebih banyak janin di kuil tersebut. Kini, jumlah janin yang ditemukan di kuil tersebut meningkat lebih dari 1.840 janin.

seperti diberitakan Xinhua, kasus ini terungkap berawal dari pengaduan warga di sekitar kuil yang mencium bau tak sedap. Aparat keamanan turun tangan dan menemukan ratusan janin dalam kantong plastik di dalam kamar kremasi mayat kuil

Penemuan janin ini mengacu ke tindakan keras polisi di klinik aborsi ilegal hingga terjadi penangkapan seorang pengelola klinik aborsi bernama Lanjakorn Jantamanas (33). Ia mengaku kepada polisi bahwa ia menerima uang sebesar 500 Baht untuk setiap pengantaran janin ke berbagai kuil di Bangkok.

Polisi Tangkap Ketua Geng Narkotika


KEPOLISIAN Meksiko berhasil meringkus ketua geng narkotika yang diduga bertanggung jawab atas kematian 22 pria di Kota Acapulco, awal bulan ini. Jose Lozano Martinez, selaku ketua Kartel Acapulco, juga diduga terlibat dalam kasus hilangnya 20 pria asal Negara Bagian Michoacan yang tengah menuju Acapulco. Pria berusia 21 tahun itu ditangkap bersama dengan enam anggota geng setelah sempat terlibat pengejaran mobil dengan aparat kepolisian di Acapulco.
Dalam melakoni aksinya, Lozano terkenal kejam. Sebagian besar korban tewas dibunuh dan dimutilasi. Bahkan, korban dilempar ke pusat-pusat perbelanjaan. Hingga kini, dua korban lainnya masih dilaporkan hilang.
Kiprah Lozano kian terungkap setelah polisi menemukan 18 mayat di sebuah kuburan massal dekat Acapulco. Berdasarkan pengakuan seorang anggota geng yang ditangkap November tahun lalu, geng narkotika pimpinan Lozano mungkin salah membunuh. Geng narkotika besutan Lozano mengira para korban adalah anggota sindikat kartel rival mereka. (Mps/AP/I-5)

Pembuktian Terbalik

Selasa, 25 Januari 2011 00:00 WIB

KASUS Gayus Tambunan ternyata merupakan ujian berat bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ujian berat karena sepak terjang Gayus telah membikin malu pemerintah. Untuk menuntaskan kasus yang memalukan itu, Presiden Yudhoyono telah mengeluarkan 12 butir instruksi.

Salah satu instruksi itu adalah penggunaan metode pembuktian terbalik. Intinya Gayus harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya.

Keengganan melaksanakan instruksi tersebut bisa ditafsirkan sebagai pembangkangan karena membiarkan instruksi menjadi macan kertas.

Kapolri Jenderal Timur Pradopo angkat tangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, kemarin, Kapolri mengakui belum dapat menerapkan pembuktian terbalik dalam penyidikan kasus kepemilikan harta Gayus.

Menurut Kapolri, belum ada peraturan perundang-undangan yang memberi hak kepada penyidik untuk menggunakan metode pembuktian terbalik.

Benarkah demikian? Sesungguhnya ketentuan perundang-undangan mengenai pembuktian terbalik sudah ada. Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan alat bukti itu hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Akan tetapi, Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menambahkan alat bukti bisa berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Senyatanya, di pengadilan, atas pertanyaan hakim Albertina Ho, Gayus mengakui menerima uang dari tiga perusahaan Grup Bakrie. Namun, polisi tidak berbuat apa pun terhadap pernyataan Gayus di pengadilan itu.

Masih ada landasan hukum lainnya. Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan perihal kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan terdakwa digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Di sinilah laporan keuangan yang dimiliki PPATK menjadi sangat relevan, kuat, dan sangat penting.

Adalah benar bahwa konstruksi hukum terakhir itu masuk ranah yudikatif. Namun, pintu masuk pembuktian terbalik tetap juga ada pada penyidik kepolisian. Persoalannya, apakah polisi mempunyai kemauan politik untuk melaksanakan instruksi presiden dan, tentu, apakah polisi juga memiliki kemauan hukum untuk membongkar habis kasus Gayus?

Terus terang, sangat kuat kesan kepolisian sengaja menyiasati undang-undang hanya untuk melindungi anggota mereka yang menyandang bintang di pundak. Juga sangat nyata Gayus hanya dijerat dengan dakwaan suap dan dilepaskan dari jerat pidana korupsi. Sekarang, Kapolri menyatakan menyerah tidak dapat melaksanakan instruksi presiden untuk menerapkan pembuktian terbalik.
Sempurnalah sudah betapa bertaringnya Gayus dan betapa tiada berdayanya negara.

Minggu, 23 Januari 2011

Sony Laksono Adalah Gayus Tambunan.


Gayus kembali berulah dan membuat sensasi yang menggemparkan dunia. Kementerian Hukum dan HAM mengungkapkan Sony Laksono yang diduga Gayus, bepergian ke Macau pada 24 September 2010, dan Kuala Lumpur, Malaysia, pada Kamis 30 September. Setelah kepergiannya ke mancanegara dalam kurun waktu satu bulan, September 2010. Kemudian disusul kepergian Gayus bersama keluarganya nonton tenis di Bali pada awal November 2010.

Untuk memastikan siapa pemilik paspor atas nama Sony Laksono, Tim bentukan Kantor Menteri Hukum dan HAM akan melakukan pemeriksaan terhadap sidik jari yang terdapat pada paspor tersebut.

Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyebutkan, Gayus membuat paspor di kantor Imigrasi Jakarta Timur atas nama Sony Laksono, dengan cara mencuri normor paspor asli dari seorang anak kecil Margaretha yang tidak jadi melanjutkan pembuatan paspornya. Namun pihak Imigrasi Jakarta Timur membantah pernah menerbitkan paspor atas nama Sony Laksono.

Plintat-plintut, kata itu mungkin tepat menggambarkan respons Gayus Tambunan mengenai paspor atas nama Sony Laksono. Foto di paspor yang dikeluarkan oleh Imigrasi Jakarta Timur itu memang terdapat foto pria yang sangat mirip dengan Gayus.

Terdakwa kasus mafia pajak itu terkesan tidak ingin membicarakan paspor yang telah diumbar Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana di twitter itu. Gayus tidak mengakui, tapi juga tidak menyangkalnya.

Gayus malah berkomentar bahwa isu dirinya ke Makau dan Kuala Lumpur adalah settingan. Begitu juga dengan paspor atas nama Sony Laksono yang bergambar Gayus pakai wig. Dia mempertanyakan maksud Denny Indrayana memposting foto paspor Sony Laksono.

Sikap Gayus semacam ini juga pernah ia lakukan saat foto-foto dirinya sedang menonton pertandingan tenis di Bali tersebar di media massa. Saat pertama dimintai komentar soal foto-foto itu, Gayus dengan tegas membantahnya.

Lama-kelamaan, Gayus terkesan tidak mau membicarakan foto-foto itu. Gayus juga tidak mau mengakui ataupun menyangkalnya. Namun pada akhirnya, Gayus mengakuinya juga setelah didesak oleh sejumlah pihak termasuk media massa.

Kini, sikap Gayus juga relatif sama. Apakah Sony Laksono itu memang Gayus Tambunan? Kita tunggu saja pengakuan dari mantan pegawai Ditjen Pajak itu. Meski sebenarnya, nama Sony Laksono memang pernah dipakai Gayus saat pelesiran ke Bali.

Sony Laksono adalah nama yang digunakan Gayus Tambunan untuk terbang ke Bali pada awal November 2010. Dalam foto paspor pria mirip Gayus yang diposting oleh Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana di akun twitternya, @dennyindrayana Rabu (5/1/2011), tertulis jelas nama Sony Laksono.

Tanggal lahir pria tersebut pada 17 Agustus 1975. Sementara, tanggal pembuatan paspor pada 5 Januari 2010. Ada pun nomor registrasi paspor adalah 1A11JC4639-JRT.

Menurut Patrialis, nomor paspor itu asli dan sebelumnya diperuntukkan untuk Margareta, bocah 5 tahun. Tapi karena orangtua Margareta tak juga mengurus kelanjutan paspor itu, nomor paspor itu dipakai oleh Sony Laksono

Direktorat Jenderal Imigrasi belum memastikan berapa kali Gayus Tambunan alias Sony Laksono berangkat keluar negeri sejak mengantongi paspor tersebut pada 5 Januari 2010. Sampai saat ini imigrasi pun belum menyita paspor Sony.

Sementara bila mengecek langsung lewat paspor, bisa segera diketahui lewat cap imigrasi setiap kali Gayus ke luar negeri menggunakan paspor tersebut. Saat keluar Singapura pada Maret tahun lalu, Gayus masih menggunakan paspor atas nama Gayus Halomoan Pertahanan. Padahal, paspor atas nama Sony Laksono dikeluarkan Imigrasi sejak Januari atau dua bulan sebelumnya.

Imigrasi menduga paspor atas nama Sony dibuat dengan melibatkan orang dalam. Saat memasukkan data, paspor Sony semestinya ditolak komputer karena data Gayus berupa sidik jari telah tercatat.

Selain itu, nomor paspor juga tak boleh dipakai sebab pernah dipakai di paspor orang lain. Imigrasi sendiri menyatakan paspor atas nama Sony asli tapi datanya palsu.

Apakah Gayus seorang Mafia ?


Menilik tentang sejarah munculnya mafia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Italia.Mafia berasal dari bahasa Sisilia kuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab mahyusu yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan pulau Sisilia morat-marit sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi mereka dari serangan bangsa lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara dimainkan pada 1863 dengan judul I mafiusi di la Vicaria “Cantiknya rakyat Vicaria), yang menceritakan tentang kehidupan pada gang penjahat di penjara Palermo.

Sekalipun tidak jelas siapa yang mendirikannya, namun pendirian organisasi ini mula-mula berdasarkan ikatan persaudaraan diantara sesama warga keturunan pulau Sisilia. Dalam perjalanan sejarah, kelompok yang semula kecil menjadi besar dan membutuhkan dukungan keuangan yang lebih banyak sehingga misi pendirian organisasi mulai bergeser menjadi mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mengindahkan tata aturan masyarakat yang lain. Yang mengherankan para anggotanya merasa tidak melakukan tindakan kriminal sebab di mata mereka, apa yang dilakukannya adalah sekedar memberikan proteksi atau perlindungan terhadap kelompok lain yang mengalami tekanan atau pemerasan. Sehingga pelaku merasa bangga dan terhormat dapat “menolong” seseorang dari kesusahan. Sejak itulah kata Mafiusu berubah arti menjadi orang atau organisasi “terhormat.”

Namun, sesungguhnya bila dilihat dari esensinya mafia itu jauh dari gambaran kejahatan terorganisir. Ia adalah sebuah pembelaan atas sebuah ketertindasan hak asasi, sebagai sebuah the way of life atas suatu cara untuk melindungi keluarga dan orang-orang tercinta dari ketidakadilan sang penguasa. Sebuah fakta lain mengatakan kalau dulu MAFIA itu adalah akronim dari kata “Morte Alla Francia Italia Anela” yang artinya Maut di Tangan Perancis adalah Tangis Italia. Ini menggambarkan kebencian orang Sisilia Italia atas pendudukan Perancis. Legenda lain pernah menceritakan bahwa setelah seorang gadis Sisilia diperkosa dan dibunuh oleh serdadu Perancis, sang ibu menangisi anaknya dengan ratapan, “Ma fia, ma fia” (“putriku, putriku!”).

Dalam konteks mafia hukum, mendefinisikan mafia hukum sebagai semua tindakan oleh prorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada.Dalam sejarahnya para mafioso anti dengan polisi dan pemerintah dan sangat dilarang bekerja sama dengan polisi atau aparat keamanan lainnya. Sedangkan dalam kasus gayus, para polisi dan jaksa ikut terlibat dan bekerja sama dengan gayus.Jadi kesimpulannya gayus bukan seorang mafia.

Negeri Lelucon

Senin, 10 Januari 2011 00:00 WIB

DI manakah negeri tempat terdakwa penggelapan pajak leluasa keluyuran ke mancanegara? Di manakah pula tersangka atau terdakwa bisa menjadi kepala daerah?

Jawabnya, di negeri lelucon bernama Indonesia, tempat hukum bisa dipermainkan semaunya. Inilah negeri tempat penyelenggaraan negara berlangsung suka-suka, seperti main-main.

Lelucon paling mutakhir adalah pelantikan Jefferson Rumajar, terdakwa kasus korupsi yang tengah mendekam di penjara Cipinang, sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara.

Jefferson didudukkan ke kursi pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika seseorang dijadikan tersangka oleh KPK, bisa dipastikan dia akan menjadi terdakwa dan kemudian terpidana. Sebab, bukankah KPK tak punya wewenang menghentikan penyidikan perkara korupsi sebagaimana kepolisian atau kejaksaan?

Akan tetapi, pemerintah tetap melantiknya karena statusnya masih terdakwa, alias belum berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana. Ditilik dari prinsip asas praduga tak bersalah, ia berhak menjadi kepala daerah.

Begitulah, Jefferson tetap dilantik menjadi kepala daerah atas dasar akal-akalan terhadap hukum positif.

Maka, bertambahlah jajaran kepala daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah dari balik jeruji penjara. Bahkan, Jefferson dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Celakanya negaralah yang memfasilitasi berlangsungnya lelucon itu.

Hukum positif rupanya tidak mengenal rasa malu. Menjadi pejabat pun rupanya tidak memerlukan rasa malu. Buktinya, pejabat Kota Tomohon tidak malu dilantik oleh seorang terdakwa, dan tidak malu dilantik di dalam penjara.

Pelantikan Jefferson jelas merupakan ironi demokrasi. Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.

Partai politik menyumbang andil yang besar. Sebab, alih-alih melakukan pendidikan politik agar rakyat memilih kepala daerah yang jujur, parpol lebih berkonsentrasi merebut kekuasaan untuk memenangkan calonnya, termasuk dengan cara menghalalkan politik uang.
Bukannya melakukan pendidikan politik, partai politik plus kandidat kepala daerah yang diusungnya, malah melakukan pembodohan politik kepada rakyat.

Itulah sebabnya banyak tersangka terpilih sebagai kepala daerah atau kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi tersangka. Sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka.

Jika tetap berpegang pada teks hukum positif, bakal bertambah tersangka atau terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah.
Itu artinya negeri ini masih akan menjadi negeri lelucon, entah sampai kapan. Dan, dunia pun tertawa. .........

Beban Rakyat semakin Berat

Senin, 17 Januari 2011 00:

JANJI mewujudkan kesejahteraan rakyat selalu digemakan setiap rezim di negeri ini. Bahkan, umur janji itu sudah setua usia Republik.

Namun, faktanya, jalan menuju kesejahteraan bukannya kian mulus, malah makin terjal. Jika di awal negara ini berdiri banyak warga makan tiwul karena tidak sanggup membeli beras, kini fakta serupa masih juga terjadi.

Jumlah penduduk miskin pun hingga kini masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah sekitar 30 juta orang. Bila angka kemiskinan memakai ukuran Bank Dunia, jumlahnya menjadi tiga kali lebih besar, yaitu sekitar 100 juta jiwa.

Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, di alam nyata, pertumbuhan nyaris tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan.

Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tecermin dari rasio Gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh.

Data Indef menunjukkan dalam lima tahun terakhir rasio Gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio Gini membentang dari 0 sampai 1. Nol menunjukkan pemerataan, sedangkan 1 melambangkan ketimpangan.

Kini, di tengah kian menjauhnya jalan menuju kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah diimpit beban yang semakin berat akibat kenaikan harga pangan dan komoditas lainnya. Harga beras masih bertengger di Rp7.400-an, jauh di atas harga normal yang sekitar Rp5.000.

Harga cabai, pekan lalu, masih sekitar Rp45 ribu per kilogram. Hanya dalam dua pekan harga cabai terkerek hingga 40% karena dua minggu sebelumnya masih di kisaran Rp32 ribu. Bahkan, harganya pernah mencapai Rp100 ribu per kilogram.

Sepanjang 2010, harga beras naik rata-rata 18%. Kenaikan itu dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan pada 2009 yang mencapai 9%.

Impitan hidup bakal bertambah jika kalangan industri benar-benar merealisasikan ancaman mereka untuk mem-PHK buruh. Ancaman yang sulit dihindari karena beban usaha juga kian berat akibat naiknya tarif listrik untuk industri dan pemberlakuan bea masuk barang impor untuk bahan baku.

Karena itu, tidak mengherankan jika frustrasi sosial meningkat. Ada pasangan suami-istri bunuh diri dengan meninggalkan empat anak mereka karena sudah tidak sanggup lagi menahan beban ekonomi.

Banyak yang mengganti beras dengan tiwul dan makanan lainnya yang kurang memenuhi standar gizi, asal perut sedikit terganjal.

Itulah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Negara juga jangan cuma terus memproduksi harapan semu dengan menyebut pendapatan per kapita rakyat kita sudah menuju US$3.000 atau sekitar Rp27 juta per tahun. Namun, sudahkah pemerintah melihat dan mendengar dengan betul, berapa banyak rakyat kita yang berpenghasilan sebesar itu?

Negara tidak boleh absen mengurus rakyat. Agar janji kesejahteraan makin mendekati bukti. Agar tidak terjadi pecah kongsi antara janji dan realisasi. .....

Tokoh Agama kian Lantang

Senin, 24 Januari 2011 00:00 WIB

PERTEMUAN silaturahim biasanya melahirkan kesejukan. Segala silang pendapat dan ketegangan cair ketika perjumpaan digelar dalam suasana kekerabatan.

Namun, pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para tokoh lintas agama pada Senin (17/1) malah menjadi bumerang. Bumerang karena pertemuan tidak meredakan suasana, tetapi kian mengibarkan kritik keras.

Pada mulanya sembilan tokoh lintas agama dari Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu meneken seruan perlawanan terhadap kebohongan pemerintah.

Pemerintah pun tersengat. Presiden Yudhoyono lalu menggelar pertemuan untuk berdiskusi dengan tokoh lintas agama.

Namun, yang muncul di Istana Negara tidak hanya penanda tangan seruan. Yang lebih banyak malah pemimpin organisasi keagamaan. Jumlahnya sekitar 100 orang.

Tidak hanya itu. Para menteri pun setia mendampingi Presiden. Dalam pertemuan itu, celakanya, ada pula menteri yang emosional karena merasa tersinggung dengan seruan antikebohongan.

Diskusi menjadi tidak efektif, bahkan Pendeta Andreas Yewangoe menyebutnya sekadar basa-basi.

Pertemuan yang berlangsung hingga dini hari itu tidak menyimpulkan apa-apa. Para tokoh agama terkesan kecewa. Kecewa karena pemerintah belum menangkap pesan moral di balik seruan perlawanan terhadap kebohongan.

Para pemuka lintas agama juga kecewa karena dialog di Istana tidak menyentuh substansi penyelesaian janji kesejahteraan yang gemar didendangkan pemerintah. Mereka juga kecewa karena pemerintah masih berkutat pada definisi kebohongan.

Sebaliknya para tokoh agama lebih menegaskan substansi. Mereka berharap pemerintah menangkap kekhawatiran yang disampaikan kemudian melakukan perbaikan. Pemuka agama berjanji bicara lebih keras lagi jika pemerintah terus lalai dan alpa.

Kita mengingatkan apa yang disampaikan para tokoh lintas agama adalah pesan moral, bukan agenda politik. Yang disampaikan adalah kekhawatiran pengingkaran atas konstitusi, bukan agenda pemakzulan.

Setiap dialog memerlukan ketulusan. Tanpa ketulusan, tidak ada keikhlasan menerima kritik maupun saran. Tanpa ketulusan, sebuah niat baik akan disambut dengan menggerakkan preman untuk meneror, seperti munculnya spanduk yang mengecam Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Bangsa dan negara ini milik bersama. Segenap kritik, betapa pun keras dan pedasnya, betapa pun lantangnya, haruslah dipandang sebagai ekspresi rasa cinta terhadap Tanah Air ini.

Suara keras tokoh agama itu adalah suara lantang yang mengingatkan bahwa di era politik transaksional ini masih ada pemimpin umat yang tidak bisa dikooptasi, tidak bisa digertak, dan tidak bisa dibeli.

Itulah kekuatan yang berbasiskan hati nurani, bersendikan keikhlasan. Dengan alasan apa gerakan moral itu hendak dipandang sebagai musuh pemerintah?

Daripada pemimpin negara menghabiskan waktu untuk curhat perihal gaji, lebih baik Presiden menindaklanjuti daftar kebohongan yang diserukan tokoh agama. .