Senin, 02 Agustus 2010

Ayo Dukung Pemindahan Ibukota Dari Jakarta

Dukungan pemindahan ibukota negara dari Jakarta kini mulai marak, kolom kompasiana sudah tidak terhitung mengangkat tema tersebut, jejaring sosial facebook dan twitter dengan berbagai group melakukan penggalangan dukungan. Lalu bagaimana dengan anda????

Senarnya wacana pemindahan ibukota Negara bergulir setiap periode pemerintahan, dari era orde baru sampai sekarang wacana tersebut sudah mengemuka tapi sampai saat ini tidak pernah terealisasi.

Pada era orde baru presiden Soekarno sudah lama memimpikan Palangkaraya sebagai ibukota Negara, menurutnya Palangkaraya ideal sebagai ibu kota. Dalam buku berjudul “Soekarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, karya Wijanarka disebutkan Soekarno dua kali mengunjungi Palangkaraya untuk melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan. Saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibukota Kalteng, Soekarno ingin merancang menjadi ibukota Negara, namun rencana itu hanya sebatas wacana karena selain faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu Indonesia mempersiapkann diri menjadi penyelenggara Games of The Energing Force (Ganefo) sebuah proyek mercusuar bidang olahraga Soekarno yang mencoba menandingi olimpiade.

Dalam era Soeharto juga pernah menyebut Jonggol sebagai kota yang tepat kalau ibukota Negara akan dipindahkan. Namun saat itu Soeharto tidak mengemukakan alasan kenapa memilih kota tersebut. Dalam Era Habibie menjadi presiden juga terlempar wacana kalau ibukota Negara akan dipindahkan ke Sidrap, Sulawesi Selatan, Sidrap dianggap centralnya Indonesia. Kalau menarik benang dari Pulau Nias sampai Pulau Rote, kemudian mengambil tengahnya, maka Sidraplah yang menjadi titik centrum Indonesia.

Mengapa wacana pemindahan ibukota kembali marak? Hal ini tidak terlepas dari semakin banyaknya persoalan yang mendera Jakarta. Sebagai pusat pemerintahan Jakarta juga sebagai pusat perdaganagan dan keuangan, akibatnya sebagai pusat segalanya membuat kota ini menjadi tidak berdaya memikul beban yang semakin hari semakin bertumpuk, angka criminal semakin tinggi akibat segregasi ekonom, kemacetan semakin parah yang makan biaya 17,2 triliun pertahun. Belum lagi posisi Jakarta yang rawan gempa.

Selain persoalan tersebut para pengamat dan pemerhati sosial mempredikis kalau ibu kota Negara tidak dipindahkan akan terjadi ledakan sosial dalam rentang 20 tahun kedepan seperti tahun 1998. Ledakan sosial itu terjadi karena semakin menajamnya kesenjangan sosial di Jakarta. Kelas menengah kebawah yang tidak bisa mengakses perumahan murah ditengah kota terpaksa mendiami perumahan kumuh atau tinggal diluar Kota. Ketika tinggal diluar kota muncul beban transportasi karena lapangan pekerjaan hanya tersedia ditengah kota. Disaat yang sama pemerintah tidak menyiapkan pelayanana transportasi massal, cepat dan murah sehingga beban untuk warga menengah kebawah semakin besar. Kelas menegah atas tidak membutuhkan biaya lebih karena tinggal ditengah kota, sementara kelas menengah kebawah harus berjibaku dengan kemacetan dan biaya yang lebih tinggi. Apa yang terjadi dengan keadaan tersebut bila berlangung dalam waktu lama, maka kesenjangan akan memicu terjadinya konflik social.(vivanews.com/news/read/167742)

Namun demikian, meski banyak persoalan yang kini mendera Jakarta tetapi kita tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan atau secara emosional mengambil keputusan untuk segera memindahkan ibukota Negara. Pemindahan ibukota ibarat memindahkan sebuah kehidupan. karena bukan hanya statusnya yang dipindahkan tetapi segala aspek yang mendukung harus tersedia sebelum dipindahkan, mulai dari lingkup manusia yang bekerja di dalamnya, sisitem Informasi dan Teknologi, insfrastruktur fisik pendukung serta sistem birokrasi

Pemindahan ibukota juga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena pasti memerlukan dana untuk pembangunan infrastruktur seperti perkantoran, perumahan, tempat bisnis dll. Selain soal anggaran harus membuat perencanaan yang matang sehingga konsep tata ruang seperti Jakarta yang amburadul tidak terjadi kalau ada pemindahan kota. Kota Jakarta yang semula sebagai Kampoeng Betawi , semua dilakukan tanpa rencana yang strategis dan konsep yang jelas sehingga Jakarta sulit disebut sebagi kota pemerinthan, kota bisnis pendidikan dsb.

Selain itu juga harus mempertimbangkan aspek yuridis, sekedar informasi bahwa pada tahun 2007 pemerintah bersama DPR RI sudah menyepakati UU No 29 tahun 2007 pengganti UU No 34 tahun 1999 yang mengatur tentang Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota Negara. Dalam UU tersebut diatur tentang pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara kesatuan RI. Namun kalau hanya aspek yuridisnya persoalan hanya pada political will dari legislative dan eksekutif serta dukungan warga. Seberapa besar keinginan untuk memindahkan ibukota yang sudah terbebani berbagai persoalan tersebut.

Contoh negara yang membagi fungsi atau ibukota yang pernah dipindahkan, Afrika membagi Cafetown dan Johansburg sebagai ibukota Negara dan Pemerintahan, Malaysia membagi Kota Johor sebagai ibukota negara dan Putra Jaya sebagai sebagai Ibukota pemerintahan, Pakistan memindahkan ibukota ke Kota Islamabat, Australia memindahkan Ibu Kota Canbera dari Sydnei.

Indonesia bagaimana? Menurut Kompasianer apakah Indonesia juga harus memindahkan ibukota negara dari Jakarta? Kapan dan dimana yang tepat?

Pendesain Tabung 3 Kg Harus Dihukum

Insinyur pendesain tabung gas LPG 3 kilogram selayaknya dihukum terkait merebaknya kasus meledaknya tabung gas LPG tipe ini. Lebih jauh, insinyur tersebut dianggap tidak lagi layak bekerja di bidangnya.

“Engineer (insinyur) yang merancang (tabung) itu dan menyebabkan korban harus dihukum,” kata Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) M. Said Didu di Jakarta, 5 Juli 2010.

Menurut Said, hukuman pantas diberikan kepada para insinyur jika dalam rancangan produk LPG yang dibuatnya tidak sesuai dengan spesifikasi yang memperhatikan keselamatan. “Orang yang membuat selang dan regulator LPG tidak sesuai spesifikasi juga harus dihukum,” ujar dia.

Dia menuturkan, usulan tersebut disampaikan agar ke depan para insinyur akan patuh terhadap standarisasi sebuah proyek atau produk yang akan dirancangnya. “Kalau disuruh merancang sesuatu yang tidak sesuai standar, dia nantinya tidak akan mau,” kata Said.

PII memandang, selama ini sudah banyak merebak kasus kematian dari anggota masyarakat akibat rancangan produk insinyur yang tidak sesuai spesifikasi yang standar. Sebagai contoh adalah kasus tewasnya pengendara mobil akibat struktur areal parkir yang tidak sesuai atau pun rel kereta yang tidak cocok.

Untuk itu, PII mengaku bakal segera mengajukan regulasi baru yang mengatur mengenai sertifikasi profesi insinyur. Sebelumnya, PII sebetulnya sudah pernah mengajukan rancangan UU Engineering. Namun dalam perkembangannya, kebijakan yang mengatur profesi para teknisi tersebut tidak pernah dibahas anggota DPR.

“PII meminta sertifikasi engineering. Ini penting agar surat sertifikasi bisa dicabut dan sekarang ini tidak ada ketentuan yang mengatur,” kata dia seraya mengatakan bahwa draf akademis UU tersebut sudah disiapkan PII.

Selama ini, negara-negara di Asia Pasifik sebetulnya sudah memiliki sertifikat engineering. Dengan adanya sertifikasi tersebut, negara dan teknisi akan terus berusaha menjaga profesinya tersebut.

“Di Indonesia bebas-bebas saja,” kata Said seraya menjanjikan bakal memasukan para teknisi yang tidak memenuhi standar dalam daftar hitam PII.

Minggu, 01 Agustus 2010